Jakarta, Senin 2020.
Pagi hari yang cerah, suara kicauan burung yang berterbangan. Suara usik ramainya kendaraan di jalan raya. Macet selalu terjadi pada kota Jakarta ini. Segerombolan orang memenuhi halte bus hendak pergi ke tempat tujuan mereka.
Amanda Shakira, gadis dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sedang berdiri di halte bus menunggu kloter kedua bus menjemputnya. Setelah datang, ia pun segera naik walau terasa sangat berdesak-desakan.
Setelah sampai di sekolah, ia tertarik pada segerombolan siswa yang tengah berada di Mading sekolah. Amanda pun menghampiri Mading sekolah.
Di sana terdapat pengumuman yang membuat Amanda melengkungkan senyumnya. Brosur tersebut bertuliskan tentang lomba fotografi tingkat sekolah, dan hadiahnya lumayan.
Amanda segera mengambil gambar dari pengumuman tersebut dan berlari menuju kelasnya.
"Ada apa nih kok senyum-senyum gitu" tanya teman sekelas sekaligus sahabat Amanda, shiren.
Amanda pun menunjukkan sesuatu pada shiren yaitu foto yang barusan ia jepret.
"Waaah kamu mau ikutan? Kesempatan nih buat kamu" heboh shiren.
Amanda hanya diam sambil menunduk, ia pun duduk di bangkunya dan menidurkan kepalanya di meja.
Shiren melihat reaksi Amanda seperti itu pun langsung menghampiri Amanda.
"Kamu takut ya kalau ayah kamu ga ngebolehin?" Tanya shiren dengan penuh hati-hati. Amanda hanya mengangguk pasrah.
" Kamu omongin baik-baik sama ayah kamu, pasti ayah kamu bolehin kok. Tenang aja" ucap shiren mencoba menenangkan Amanda.
Setelah pulang sekolah, Amanda menghampiri ruangan ayahnya. Ayah Amanda adalah seorang profesor di universitas negeri Jakarta. Ibu Amanda sudah tiada 10 tahun yang lalu. Tinggal lah Amanda bersama ayahnya.
Amanda mengetuk pintu terlebih dahulu kemudian menghampiri ayahnya yang sedang sibuk dengan tumpukan berkas-berkas di mejanya.
"Mau apa?" Tanya ayah Amanda tanpa mengalihkan pandangannya.
"Mau ngomong sesuatu yah" jawab Amanda dengan penuh hati-hati dalam berucap. Ayah Amanda mempersilahkan Amanda untuk duduk dan segera berbicara karena ayah Amanda tak punya waktu banyak untuk sekedar bercanda.
"Jadi di sekolah Amanda ada lomba yah.." Amanda menggantungkan kalimatnya karena merasa takut dengan reaksi ayahnya nanti.
"..lomba fotografi" lanjut Amanda. Amanda spontat meneguk ludahnya dan memundurkan badannya ketika ayahnya menatap Amanda dengan tatapan tajam.
"Ayah sudah pernah bilang, kalau fotografi itu tidak ada gunanya! Kenapa kamu masih aja pengen banget jadi fotografer, apa si faedahnya cuma ngefoto wara-wiri. Paling gajinya tidak sebesar jadi dokter" bentak ayah Amanda dengan tegas.
" Tapi yah, bukan masalah bakat tapi minat. Amanda gamau jadi dokter Amanda gasuka Amanda ga minat, Amanda pengen jadi fotografer!" Jawab Amanda sontak membentak dan berdiri.
Ayahnya yang kesal pun menampar pipi Amanda hingga membekas merah pada kulit putihnya itu. Amanda sangat sakit hati, ia berlari ke kamarnya dan menangis mengunci diri.
Ayahnya seperti bingung dengan apa yang ia lakukan tadi pada anak semata wayangnya pun mengusap jidatnya dan mencopot kacamatanya dengan frustasi.
Keesokan harinya, Amanda hendak pergi sarapan. Namun pintu kamarnya tiba-tiba sulit untuk dibuka, ia pun menggedor-gedor pintunya dan berteriak memanggil pembantunya.
"Biii, bibi, bi Laras bukain pintunya Doong" teriak Amanda, namun tak ada satupun seseorang yang berniat untuk membantunya. Namun saat Amanda melihat ke bawah, ada selembar kertas. Ia pun membaca kertas tersebut.
_Dari ayah_
_Untuk hari ini dan besok, kamu tidak boleh keluar rumah dulu. Ayah sudah meminta izin ke kepala sekolah kamu. Ayah tidak mengizinkan kamu untuk ikut lomba fotografi, maka dari itu ayah mengunci kamu di kamar. Jendela kamar kamu sudah ayah kunci dari luar, kamu tidak akan bisa kemana-mana. Dan maaf juga hp, laptop, serta kamera kamu ayah sita. Di sana ada buku dan berkas-berkas yang harus kamu baca dan isi. Ayah mau kamu nurut sama ayah._
_Untuk Amanda Shakira._
Amanda menangis membaca surat itu. Ia berlari kecil ke arah jendela. Ternyata benar, ayahnya mengunci pintunya dari luar. Ia pun menangis sambil menatap ke luar jendela. Ia melihat setumpuk buku yang ada di atas meja belajarnya. Di sana banyak sekali buku tentang ilmu kedokteran. Amanda tidak berminat untuk membacanya. Yang Amanda rasakan saat ini begitu membuat Amanda ingin bunuh diri saja.
Mau tak mau Amanda tidak mengikuti lomba fotografi yang sangat ia minati demi menuruti keinginan ayahnya.
Setelah beberapa bulan Amanda tak memakai kameranya sama sekali, ia lebih menuruti keinginan ayahnya. Dan hari ini, Jumat 2020 di sekolah negeri Jakarta. Hari yang ditunggu banyak siswa kelas 12. Pengumuman kelulusan mereka. Dan ya, Amanda lulus dengan peringkat teratas dari 200 lebih siswa. Ayah Amanda pun bangga dengan berita itu.
Setelah satu bulan berita kelulusan Amanda, kini ia tengah bersiap-siap untuk pergi ke kota yang nanti menjadi tempat ia menuntut ilmu. Kota dimana yang ayah Amanda inginkan. Amanda diterima di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Cerita 7 tahun lalu, yang masih terbesit dibenak ayah Amanda yang kini tengah duduk di kamar Amanda. Melihat sekeliling ruangan dengan penuh foto yang diambil oleh Amanda. Satu-persatu hingga ayah Amanda meneteskan air matanya. Amanda sudah menjadi sukses, telah menjadi dokter. Dan itu adalah keinginan ayahnya.
Terakhir kali ayahnya melihat Amanda yaitu saat keberangkatan Amanda. Dimana sebelum itu Amanda memeluk erat ayahnya, menangis tersedu-sedu. Dan mengucapkan 'Amanda tidak akan mengecewakan ayah'.
Keesokan harinya, ayah Amanda ingin pergi membesuk Amanda. Membawakan beberapa hadiah dan makanan.
Sekitar 20 menit, ayah Amanda telah sampai di rumah sakit yang sekarang menjadi tempat tinggal Amanda. Rumah sakit jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta.
Amanda yang kini tengah duduk bersama perawatnya di taman dengan ekspresi datar dan rambut acak-acakan. Ayahnya tersenyum pada Amanda dan berjongkok di depan Amanda. Ayahnya memberikan sesuatu pada Amanda. Sebuah kamera dan beberapa koleksi foto yang Amanda jepret sendiri saat itu.
Ayah Amanda menangis tersedu-sedu di depan Amanda. Mengatakan kata 'maaf' beberapa kali. Membungkuk dan menangis, merasa bersalah dengan apa yang selama ini ia lakukan pada ana semata wayangnya. Menyesal telah menjadikan anaknya untuk menuruti semua keinginannya.
Penyesalan memang datang di akhir. Berfikir sebelum bertindak untuk kedepannya. Jangan jadikan anak sebagai tumbal keinginan orang tua. Sebab, orang tua bisa membunuh impian anaknya dengan cara apapun.
0 coment�rios: