Minggu, 16 Februari 2020

Dissappear | Cerpen Karya Luluk Ezilina

Minggu, 16 Februari 2020 - by JURNALIS SMANPAC 0


Jalan raya yang padat dipenuhi kendaraan beroda. Aku melihatnya dari atas sini pun lelah dengan suara bising bunyi klakson yang mengganggu kosentrasiku untuk mengendarai tongkat yang menjelma menjadi tunggangan terbangku saat ini. Untung aku cekatan kalau tidak sudah dipastikan akan jadi santapan para jin penghuni tetap jalanan yang mencari tumbal.

Uh.. ini bukan dunia manusia, aku lupa itu. Aku bukan sejenis penyihir yang ingin menyamai manusia. Meskipun fisik kita sama tapi maaf kemampuan kita berbeda, kita bukan seperti dukun peramal yang sok tahu tentang takdir seseorang ataupun dukun beranak.

Ada dua jenis penyihir disini-- karanganku sendiri sih-- penyihir sepertiku yang masih mempertahankan eksistensinya, contohnya, menggunakan tongkatnya untuk berpergian. Tapi kalau penyihir yang menggunakan tunggangan seperti dibawah sana --ada benda bulatnya yang berfungsi untuk tumpuan berjalan-- adalah penyihir yang ingin menyamai gaya modern manusia.

Sebenarnya aku hanya sedikit jengkel saja dengan kelakuan beberapa manusia yang merasa hebat dengan kemampuannya yang tidak seberapa itu, dan tentu saja itu dibantu oleh jin. Memangnya manusia bisa?

Kenapa tidak dipakai saja otaknya yang konon katanya lebih cerdas dari binatang. tidak usah banyak bertingkah. Aku merasa tersinggung dengan itu, kekuatanku terasa ternodai. Kita penyihir yang sudah susah payah untuk mengembangkan kekuatan murni kita yang sudah ada sejak lahir untuk mendamaikan dunia kita masing-masing. Manusia itupun dengan seenaknya menanamkan kekuatan hitam dan parahnya lagi itu dibuat bahan leluconan oleh beberapa orang. Memang sih di dunia sihir ada hantu gentayangan tapi sangat jarang sekali untuk mengganggu, bahkan menampakkan diri saja tidak pernah.

Menanti kembali kedunia pusat sihir, untuk melihat festival dipasar kota. Datang kesini --dunia duplikat--, hanya bermain melihat-lihat saja, tidak ada yang lebih. Dan untuk kembali kedunia pusat sihir harus melewati pintu rahasiaku yang aku buat sendiri. Kalau ingin melewati gerbang umum aku pasti harus berurusan dengan ayahku.

Itu aku melihatnya! saking girangnya aku memekik dalam hati. Setelah bertahan lama dari keadaan tangan kesemutan dan telinga yang berdengung ditengah jalanan yang padat tadi --meskipun tidak banyak mempengaruhi perjalananku karena aku terbang-- aku bernafas lega.

Disana terlihat ada bangunan dengan atap berwarna cokelat. Aku menurunkan kecepatan tongkatku untuk mendaratkannya lebih rendah lagi. saat kaki dirasa menapaki tanah bersamaan dengan itu Aku turun dari atas tongkat. Dan mengulurkan sebelah tangan hendak menegakkan tongkat yang masih mengambang di sampingku, yang asalnya panjang sekejab itu ia berubah ukuran menjadi normal layaknya tongkat pada umumnya.

Bangunan yang berbentuk menyerupai kubus itu hampir seluruhnya terbuat dari kaca, dan terlihat tampak jelas dari sini kalau pemandangan di dalam sana kosong tidak ada siapapun. di luarnya terdapat taman dengan dikelilingi banyak tanaman. Ketika melewati jalan setapak yang mengarahkan pada pintu besar berbentuk lengkung berbelah setengah diujung sana.

Setelah membuka pintu yang ternyata cukup ringan walau sekilas terlihat sangat berat. Ruangan ini tampak lengah tidak ada apapun disini kecuali lampu gantungan besar diatap, tepat di atas kepalaku.

"Lone." merasa nama itu terpanggil untukku, aku menoleh ke belakang. Tepat pada pintu masuk terdapat corny --gadis berkuncir dua dengan dres penyihirnya berwarna kuning-- melangkah menuju kearahku dengan langkah sedikit tergesa.

"Ada apa?" Mataku menelisik bingung melihat raut muka corny yang kelelahan seperti habis mencari sesuatu.

"Kamu dari mana saja, aku mencari mu dari tadi ternyata kamu disini." Ah, Ternyata dia mencariku. Lucu sekali dia menapku seperti aku seorang buronan disini.

"Kau mencariku? Cuma dirimu, bagaimana dengan yang lain?" Sedikit jengkel memang, kenapa hanya aku yang tidak diperbolehkan keluar masuk ke dunia duplikat, kecuali harus meminta izin terlebih dahulu pada pimpinan pusat. Pada dasarnya kan memang semua kalangan penyihir boleh keluar masuk tanpa perizinan sekalipun. Kenapa aku tidak? Ini tidak adil. Aku mendengus mengingat hal itu.

Hembusan nafas lelah keluar dari mulut corny, ia harus sabar menghadapi temannya yang mulai jengah dengan keberadaannya. "Ayolah jangan pikirkan hal itu, itu demi kebaikanmu. Kau kan juga benci dengan semua hal yang berbau manusia. kenapa juga kau harus pergi ke ruang duplikat ini yang tentu saja itu membuatmu semakin meningkatkan rasa bencimu pada manusia?"
Jujur mendengar apa yang dikatakan lone, temannya, memang ia juga merasa tidak adil atas perlakuan pimpinan kepada temannya. Dengan kenyataan pimpinan itu merupakan ayahnya kenapa tidak memperbolehkan putrinya bersenang-senang menghirup udara kebebasan saat ia merasa dunia pusat seperti penjara bagi temannya.

"Itu lebih baik dari pada terkurung dipenjara tak kasat mata yang membosankan itu."
aku mulai kesal dengan percakapan ini. Saat menyadari sesuatu aku melayangkan tatapan menyelidik pada corny.

"Dan. ah ya, kenapa juga kamu ikut andil dalam penangkapan buronan ini? Kau ini berpihak pada siapa huh? Aku tahu itu paksaan dari ayahku tapi tidak bisakah kamu berpura pura untuk tidak mengetahui keberadaanku?" Sekilas dia terlihat merasa kelagapan dengan apa yang kulontarkan padanya. Dengan sedikit menjahilinya mungkin akan seru, Tanganku mulai bersedekap menambah kegugupannya. Meminta penjelasaannya terhadap apa yang dilakukannya akhir akhir ini yang baru ku sadari.

"Tidak seperti itu maksutku. Aku hanya tidak ingin kamu dihukum oleh ayahmu. Beruntung ayahmu tidak memerintahkan penjaganya untuk mencarimu." Nada bicaranya terdengar gugup ketara sekali, biasanya orang akan berbicara terbata saat sedang gugup tapi ia berbicara dengan cepat. Itulah dia saat mengatasi kegugupannya, aku sangat mengenalnya.

"Ayahku memintamu agar aku dipastikan untuk kembali tanpa pemberontakan kan? Karena ayahku mengerti aku tidak akan tega denganmu. Tenang saja aku tidak akan kemana-mana, aku sudah hafal dengan jalan pulangku." Langsung saja aku memalingkan wajahku kearah lain setelah berkata seperti itu padanya.

Maaf aku tidak bermaksut berbicara sarkas padamu, tapi ini untuk membuatmu agar mengerti. Tidak usah dengarkan ayahku dan jangan takut padanya.

"Maaf, lain kali aku akan berpura-pura." Melihatnya menunduk dan memilin jarinya membuatku tidak tega melihatnya seperti itu. Tandanya dia sangat menyesal setelah membuatku jengkel seperti ini.

"Tapi aku tidak menyesal telah mencarimu. Aku sungguh mengkhawatirkanmu. Kamu tahu kan betapa cerobohnya dirimu saat sedang sendirian?" Dia mendongakkan kepala saat itu juga dan jangan lupakan wajah kekanakannya, mata berbinar, dan suaranya yang terlalu bersemangat itu.
Aku melototkan mata untuknya.

Ah aku menyesal telah mengasihaninya, aku tarik kata kata ku tadi. Dia cengengesan seperti itu? Menampilkan wajah tak berdosanya?

"Aku bukan dirimu yang mengemut permen saja belepotan." Sedikit berdeham untuk meredamkan kekonyolan ini.

"Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku seharusnya bersyukur ayahku tidak meminta penjagaan ketat yang mengikuti ekorku setiap kali aku bergerak, atau mata-mata yang sampai keblabasan mengintipku saat mandi?" Suara langkah kaki ku mulai berbunyi mencegah suara perdebatan lebih lanjut lagi diruangan hening ini yang sebelumnya terlibat pedebatan kecil yang sedikit sensitif untukku.

Merasa ada yang memenuhi pikiranku, kaki ku dengan sendirinya berhenti melangkah, melirik sekilas kebelakang untuk berusaha meyakinkan apa yang ada dikepalaku.
"Kamu bukan termasuk yang kedua kan?" Walau aku tidak melihat raut wajahnya karena corny berdiri dibelakangku, aku mengetahui dia menggeleng kepalanya cepat.

"Sekarang ayo kita kembali aku sudah bosan dengan suasana disini."
Mungkin ini hanya perasaanku. Mencoba mengenyahkan pikiran yang tidak masuk akal itu, kakiku Melanjutkan langkah yang tertunda tadi untuk masuk lebih dalam lagi, dan menghilang dalam beberapa hitungan langkah, corny menyusul dibelakang.

**

Suara pintu tertutup, melihat ada sofa didepan sana aku mendekatinya dan merebahkan punggung ke sandaran sofa setelah meletakkan tongat di atas meja. Saat menoleh sekilas ke kanan untuk menatap corny yang masih mengunci gagang pintu, mataku mulai mengerjap lelah dan memejamkannya perlahan. "Jangan beritahu kepada siapapun soal pintu itu." Aku berharap dia mendengar gumaman pelanku ini.

"Aku mengerti. Aku tidak akan memberitahunya pada siapapun, terutama ayahmu." Karena terlalu malas, aku hanya menanggapinya dengan anggukan. Sebelum terhanyut lebih jauh, seketika teringat sesuatu aku langsung membuka mata dan mendapati corny sudah duduk diseberang sofa.

"Temani aku sekarang untuk pergi ke pasar kota. Aku ingin melihat-lihat disana." Mood ku serasa lebih segar dibanding tadi.

"Ku dengar dipasar kota juga ada festival, mau melihatnya?" Wajah berbinarnya langsung menyambut mood ku "rencananya aku mau mengajakmu tadi, tapi saat melihat wajah marah mu seperti itu tadi, jadi aku mengurungkannya." Wajah berbinar terganti dengan wajah tiba-tiba murung, tambahan bibir yang mengerucut kedepan membuat ia seperti bayi yang masih memakai popok.

"Kenapa mengurungkan niatmu? Kamu tahukan aku sangat menantikan festival ini. Dan kamu telat memberitahukannya karena aku sudah tahu terlebih dahulu." Senyum antusiasku membuat aku tidak ingin memarahinya. "Ayo kita melihatnya." Sungguh aku sangat bersemangat hari ini rasanya sudah sekian lama tidak berbaur dengan keramain.

"Tunggu." Aku menunda beranjak dari ruangan ini setelah berdiri mengangkat bokong dari sofa tempatku duduk saat mendengar penjegahan yang dilakukan corny.

"Apa lagi?" Suara membeoku membuat ia berjengkit ngeri.

"Maaf, bukan maksutku untuk mengganggu kesenanganmu. Tapi aku sarankan untuk melangsungkan kesenanganmu dengan menghilang dari sini secepatnya." Menggigit jarinya dia terlihat ragu mengatakannya.

"Kamu mengerti maksutku kan?" Jarinya yang baru saja digigit dikibaskan dibarengi cengengesannya.

"Tentu saja. Kenapa kamu baru mengingatkanku?" Aku mendekatinya dan mengulurkan tanganku pada nya. Dan langsung disambut oleh corny. Aku mulai merapalkan mantra yang tentu saja tidak akan membiarkan siapapun mengetahuinya. Karena hanya aku saja yang tahu.

Badan keduanya pelan-pelan menjadi transparan dan menghilang.

Ruangan ini sekejab menjadi hening. menyisakan aura hangat yang ditinggalkan oleh ke dua penyihir tadi.

**

Setelah dirasa berpindah lokasi aku menghirup udara sebanyak-banyak nya mencium aroma keramain udara luar. Saat aku membuka mata, yang benar saja ini di tengah kios yang penuh dengan penyihir dan itu mengundang keterjutan banyak orang disini. Pemilik kios yang berada disampingku--tertanda pin di dada kananya menunjukkan kalau dia pemilik kios, semua pemilik kios mempunyainya-- sampai memiringkan badanya dengan mulut yang terbuka dan kaca mata yang sedikit turun dari posisinya.

Menyadari hal itu aku mengumbar nyengir ke semua penyihir dan sedikit lambaian kearah mereka. Saat tidak ada yang bergerak dari posisi terkejut itu aku menggaruk tengguk yang tidak gatal.

"Lone." Suara corny menyadarkan keterjutan mereka semua. Corny berada diluar kios. Aku terkejut bingung, kenapa pendaratanku bisa berada disini?, sedangkan corny terpisah denganku dan sekarang dia diambang pintu melongokkan kepalanya kedalam kios.

"Kenapa pendaratanmu salah bisa ada disini?" Aku mulai tersadar dari kelinglungan saat menyadari corny sudah berada didepan ku, sekarang kurasakan tangannya menyentuh lenganku.

"Aku tidak tahu, mungkin saat pendaratan aku terlalu bersemangat, jadi kurang fokus." Kepalaku celingak-celinguk mulai menulusuri tempat ini dan semua penyihir kembali beraktivitas seperti biasa. "Untung tidak ada yang curiga." Ia menghela nafas lega sampai hirupannya mungkin terdengar ditelinga corny.

"Jangan lega dulu, mereka tidak curiga mungkin karena mereka menganggap hanya ramuan buatanmu saja yang bisa membuatmu menghilang seperti itu."
Alisnya kini menukik tajam untuk memojokkanku beserta rentetan ocehannya, membuatku lelah. "untung meraka tahu kalau kamu itu memang anak yang cerdas yang suka membuat ramuan-ramuan aneh."

Akhirnya mulut itu tersenyum lega.
Tapi itu hanya sesaat karena setelahnya ia kembali mengoceh. "Lihat, akibat kecerobohanmu mereka seperti manekin yang disusun sedemikian rupa untuk pemotretan."


"Aku kan tidak tahu, lupakan. anggap saja itu tidak pernah terjadi." Mengabaikan corny mengoceh lebih lanjut lagi aku mendahuluinya berjalan keluar kios. Ternyata kios ini berisi buku-buku yang tertata disemua sudut saat aku melewatinya.

"Kamu kenapa bisa sesantai itu sih? Kalau ada yang curiga kamu bisa teleportasi bagaimana?" Dia memelankan suaranya di kalimat terakhirnya didekat telingaku.

"Kenapa kamu yang khawatir, aku yang mempunyai kekuatan itu. Jadi tenang saja. Lagian katamu mereka tidak akan curiga karena mereka menganggap itu hanya ramuan biasa kan?" Biarkan saja dia mengoceh, aku sedang sibuk mengagumi keramaian festival ini saat berhasil keluar dari kios buku yang sekarang berada dibelakang punggungku.

Corny memberenggut kesal ia mencebikkkan bibir yang menambah kesan mungil saat pipi yang digembungkan menenggelamkan bibirnya, "kalau ayahmu mengetahuinya bagaimana? Kamu paham kan kalau kekuatanmu itu terbatas. Kamu tidak bisa melewati gerbang itu, dan kamu hanya bisa melakukannya disini. Aku tidak faham denganmu katamu kamu tidak suka manusia tapi kenapa masih keduplikat itu, aku tahu memang bukan manusia yang jadi penghuninya tapi kaum kita. Tapi yang berbau manusia kamu membencinya kan?"

Corny berkacak pinggang mengetahui ia diacuhkan oleh lone, ia mengoceh sebanyak apapun pasti ia tidak akan digubris oleh temanya itu karena dilihatnya lone sudah terhipnotis oleh sekitar. Jadi ia melontarkan pertanyaan terakhirnya yang membuat lone akan menoleh kepadanya.

"Aku tidak membencinya, aku hanya benci dengan kelakuan mereka yang berurusan dengan kekuatan hitam. Dan juga apa salahnya menikmati karya mereka? Walau diduplikat hanya penjiplakan karya mereka, setidaknya aku bisa merasakannya." Dan benar saja pancingan corny berhasil membuat lone secara cepat menoleh kepadanya.

"Kalau ayahku tau tidak masalah, kan tinggal tau. asalkan tidak mengetahui pintu itu." Lone kembali memandang kedepan untuk melanjutkan pencariannya. Sebelum itu ia bicara cepat pada corny, " jangan berbicara dengan ekspresi seperti itu saat berjalan dikeramaian. Itu memalukan."

Mendengar lone berbicara seperti itu padanya, membuat ia menunduk lesu. Tak sengaja matanya melihat gerobak penuh permen loly yang menggantung disetiap tepi payung. Ia kembali ceria, tinggal menunggu ia ngacir dan mengemut permen lolynya bersama anak kecil disampingya, sambil sama-sama menunggu induknya datang mencari mereka.

'Potion items ' . Itulah yang tertulis dipapan, terletak diatas pintu masuk sebuah kios. Didepannya terdapat gadis yang memakai dress warna ungu-birunya dan terdapat tongkat sihir --yang bagian ujung gagangnya terdapat kristal kecil berwarna sepadan dengan dress yang dipakainya-- dikaitkan dipinggangnya. Ia mendongak , bergumam membaca tulisan dipapan tersebut. Setelah berdiam sesaat, ia lenyap dimakan pintu masuk didepannya.
Ia mengabaikan temannya, yang sudah tentu ia ketahui kemana temannya itu pergi.

Inilah yang membuatnya bersemangat untuk menghadiri festival. Disinilah ia sekarang, dimana banyak rak-rak yang dipenuhi banyak ramuan dan tanaman lainnya yang langkah, untuk menciptakan ramuan baru yang sudah dicampur dengan ketelitian yang tepat. Sangat membantu banyak orang untuk keperluan sehari-hari. Yang dimana sangat jarang kios ini ada, kecuali festival seperti ini.

Hanya ada beberapa orang disini tidak seramai diluar sana maupun didalam kios buku tadi. Lone mencoba memulai mengelilingi rak yang berada dipojok depan sebelah kiri terlebih dahulu, setelah itu kepojok belakang. Dan saat ia tiba di rak pojok depan sebelah kanan, ia sudah menenteng dua ramuan dan tiga bibit tanaman yang sudah ia ambil di rak sebelumnya.

Sebelum matanya menelisik membaca nama ramuan yang berjejer di depannya, lone tersentak kaget oleh suara corny yang datang tiba-tiba. "Kenapa kau lama sekali, aku capek tahu menunggumu diluar sana sambil mengemut permen bersama anak kecil. Kau tahu aku dipandang aneh tadi oleh rombongan laki-laki yang tak sengaja lewat didepanku." Kenapa ia malah merajuk? Seharusnya ia sadar apa yang membuat ia dipandang seaneh itu.

"Kau tahu mengapa kau dipandang aneh tadi?" Melihat corny yang bersedekap merajuk, menggelengkan kepalanya, membuatku meneruskan kalimatku, "pikirkan yang mungkin tidak sadar apa yang kau lakukan tadi, dan berkacalah bagaimana penampilanmu saat ini." Saat melihatnya sedang memikirkan apa yang kuucapkan tadi, aku meninggalkannya begitu saja setelah aku mendapatkan ramuan yang kucari, dan menuju ke kasir untuk pembayaran.

Setelah meletakkan semua item ke atas meja kasir. Tiba-tiba meja tergoyang, tentu saja bukan ulah ku, masa iya aku hanya meletakkan barang yang tidak seberapa berat itu bisa menggoyangkan meja? Saat menemukan pelakunya yang berada disebelahku, aku memutar bola mata jengah.

"Apakah kau punya cermin? berikan padaku. Itu tidak akan lama." Corny bukan berbicara pada ku tapi kepada kakek tua yang berada diseberang meja kasir, didepan kami. Dia sangat tidak sopan.

Setelah kakek itu mencarikan cermin dan memberikannya pada corny, corny menjauh pergi dengan membawa cermin yang baru saja ia dapatkan.

"Berapa kek jadinya?" Lone bertanya saat barang yang ia beli di sodorkan oleh kakek penjaga kasir. Kakek itu bukan sekedar penjaga kasir tapi juga pemilik kios ini.

"Semampumu cu." Ucap kakek seraya mengulas senyum. Penampilan kakek itu cukup sedehana. Hanya pakaian penyihir yang berwarna cokelatnya dengan pin bulat berukiran rumit, berbeda dengan pin yang berada di samping kanan dada tanda kepemilikan kios, kaca mata yang bertengger di hidungnya, rambut yang dominan warna putih dan sedikit warna kecokelatan, dan warna mata birunya yang terang walau mengingat ia sudah bau tanah.

Tersadar dari pengamatannya. Lone gelagapan saat menangkap apa yang ia dengar. "Ah, benarkah? Baiklah kalau begitu, aku bawa pergi dulu barang ini. Karena aku lupa tidak bawa uang. Berarti ini gratis kan? Baiklah sampai jumpa, terima kasih sudah hadir di festival ini." Lone menyungingkan senyum yang amat sangat berterima kasih.

Kakek itu tersenyum menggelengkan kepala saat lone beranjak dari depannya. Dan melanjutkan aktivitas yang tertundanya membaca berita dan secangkir kopi yang menemaninya.

Lone menepuk pelan pundak corny yang sedang sibuk berkaca dan mengamati dirinya apabila ada yang kurang.

Yang ditepuk menoleh langsung, menyodorkan pertanyaan untuk lone. "Lone. Ada apa dengan penampilanku? Menurutku tidak ada yang aneh sama sekali dengan penampilanku, apalagi wajahku."

"Ayo, kembalikan cermin itu. Aku sudah selesai." Dengan membawa barangnya lone berjalan santai menuju pintu keluar.

Disini sangat ramai, banyak orang yang berlalu lalang, termasuk anak kecil. Banyak kios-kios yang menjual barang-barang yang jarang dijumpai. Bahkan semua wahana disini tidak ada yang sepi oleh kedatangan anak-anak.

Lone tersenyum melihatnya. Sangat jarang sekali melihat pemandangan seperti ini. Anak-anak berlari tertawa dengan apa yang mereka bilang lucu. Suara bising para perempuan yang menawar harga untuk apa yang akan mereka beli. Disetiap kios tidak ada yang sepi. Kuliner yang siap memanjakan hidung untuk menghirup aromanya.

Corny menyusul lone, menyamakan langkah kaki lone yang sekarang sedang menatap kagum pada apa yang dilihatnya dengan menenteng barang belanjaannya.

"Lone cepat beritahu aku. Apa maksutmu dengan penampilanku?"

"Katamu tadi bersama anak kecil kan? Itu yang membuatmu aneh, dan lihat penampilanmu yang seperti anak kecil ini."
Corny melongo dengan ungkapan lone yang mengomentari penampilannya.

"menurutku ini tidak aneh, ini trend tahu. Dan apa salahnya duduk bersama anak kecil?" Corny melengoskan kepalanya.

"Membuatmu menambah kesan anak kecil."
Lone mendengus dibuatnya. "Sudahlah kita pulang. Dari pada disini bersama anak kecil."

"Kau tega." Corny memberenggut dan dengan tergesa mendahului lone yang sudah berjalan didepannya, setelah dengan sengaja ia menyenggol pundak lone dengan keras.

"Dasar bayi besar!" Teriak lone pada corny yang semakin menjauh dari pandangannya, tenggelam bersama lautan penyihir.

Sampai didepan pintu besar setelah melewati gerbang didepan sana. Lone masuk tanpa menyentuh pintu, karena otomatis pintu terbuka sendiri dengan apa yang pemilik rumah pikirkan. Dengan kata lain pintu itu bisa membaca pikiran dengan cara memberinya ramuan mind reader.

Disambut aula yang begitu luas dan nampan yang terdapat sayap kecil putih dikedua sisinya, berada didepannya menawarkan dirinya untuk dijadikan tadahan.

Lone meletakkan kantong yang dibawanya diatas nampan. "Ikuti aku." Perintah lone pada nampan dan nampan itu langsung mengikuti kemana lone pergi.

Sampai didepan pintu kamar. Sama seperti yang tadi pintu otamatis terbuka, tapi berbeda dengan ini yang hanya bisa membaca pikiran lone. Jadi orang lain harus meminta izin dulu untuk masuk ke ruang private-nya.

"Taruh di atas meja belajar." Lone mengambil kursi untuk ia duduki didepan meja belajar yang berada tidak jauh dari ranjangnya.

"Terima kasih." Setelah lone mengucapkan itu, flying tray pergi dari kamar lone.

Sudah tidak sabar dengan apa yang ada didalam kantong belanjaannya. Lone mengeluarkan potion dan bibit tanaman keluar dari kantong yang terbuat dari jerami.

Ia biasanya menggarap semua ramuannya disini. Kalau ada yang bertanya, kenapa tidak di diruangan rahasia itu? Ia akan menjawab, karena kalau di ruang rahasia ayahnya pasti akan curiga dimana ia membuat semua ramuannya. Dan ayahnya akan bertindak mencari tahunya sendiri dengan berbagai cara, dan pasti ia akan mengobrak- abrik kamarku. Kalau beruntung ruang rahasia tidak diketahui itu sangat melegakan. Kalau tidak bagaimana? Ada yang bisa jawab?

Kalau masih ada yang membantah lagi. kalau dikamar ada penelusup bagaimana? Lalu ramuanmu itu akan dicampur dengan ramuan yang berbahaya dan membuat ramuanmu gagal. Dan sekali lagi akan ia jawab dengab tegas, itu tidak akan pernah terjadi, karena pintu kamarku tidak seperti pintu kamar kalian. Maafkan kalau ia sedikit sombong.

Tanpa sengaja ku lihat, kristal yang berada diujung gagang tongkat sihirku menyala pertanda ada yang mengirim sinyal, dan itu pasti ayahku.

Item yang tadinya sudah ia keluarkan, sekarang ia masukkan kembali ke kantong jerami. Dan bergegas keluar kamar.

"Ayah!" Panggilku tiba-tiba setelah masuk ruang kerja ayah dengan menggebrak pintu dengan keras.

"Lone. Kamu dari mana saja?" Suara seruan ayahnya yang begitu berat membuat aura ketegasan terpancar mengelilingi ayahnya. Tapi itu tidak menyurutkan keberanian lone yang saat ini sudah duduk tenang dikursi depan meja kerja ayahnya. Bertatap muka dengan ayahnya yang berada didepanya, hanya dipisahkan oleh meja kerja.

"Menghirup udara segar." Balas lone dengan memperlihatkan deretan giginya, terlihat sama sekali tidak niat melakukan hal itu memang.

"Ayah akan memaafkanmu, tapi kalau sekali-kali ayah mengetahui kamu keluar dari gerbang tanpa meminta izin pada ayah. Kamu tidak akan bisa keluar lagi dari sini. Ayah memperingatkanmu lone."
Tatapan mata ayahnya yang menyorot tajam kearah lone, membuat lone berdecak saat melihat ayahnya menatapnya seperti ini, ia tidak menyukainya.

"Silahkan saja ayah mau bertindak seperti apa. Yang pasti itu tidak mungkin."
Tapi ayah, aku tidak pernah keluar dari gerbang

"Kamu menentang ayah? Lone! Ini demi kebaikanmu!"

"Kalau ini demi kebaikan lone, kenapa ayah tidak memperbolehkan lone untuk bebas?" Intonasi lone ikut meninggi setelah ayahnya membentaknya tadi.

"Kamu tahu kan ayah tidak memperbolehkan mu karena ayah takut nanti kamu terpengaruh dengan keadaan diluar sana, di dunia duplikat." Ayahnya mencoba mengatur nafasnya untuk meredam kemarahaannya.

"Sudah pernah lone katakan Ayah. Ayah tenang saja, lone tidak akan terpengaruh semudah itu. Kenapa ayah tidak percaya itu?"

Beberapa detik setelah membiarkan ayahnya berfikir seperti sesuatu yang penting, membuat lone was-was dengan apa yang terjadi selanjutnya.
"Bagaimana dengan kamu yang bisa pergi keluar dari gerbang tanpa sepengetahuan penjaga lone?"

Dan benar saja apa yang dipikirkannya. Itu adalah pertanyaan yang paling lone hindari. Menyembunyikan sesuatu dari ayahnya pasti akan terbongkar dalam waktu dekat.

"Ayah tidak perlu tahu." Lone mennyanggah pertanyaan ayahnya dengan begitu tenang. Berusaha untuk menyembunyikan rasa was-was nya.

"Ayah harap kamu tidak menyembunyikan apapun dari ayah lone." Ayah berdiri dari kursinya dan beranjak menuju sofa santainya yang berada di belakang lone.

"Tidak ada apapun yang lone sembunyikan dari ayah. Kalau iya itu pasti akan ayah ketahui secepatnya, benarkan yah?" Terkekeh dengan apa yang ia ucapkan sendiri. Lone berusaha menetapkan posisinya yang memunggungi ayahnya, menatap lurus ke depan. Tidak ada niatan untuk menoleh kebelakang dimana ayahnya berada.

"Aku ingin meminta penjelasan dari ayah. kenapa ayah hanya mengecualikan aku? Sedangkan penyihir lain disana diperbolehkan?"

"Itu tidak semudah apa yang kamu pikirkan lone. Harus memenuhi beberapa hal untuk memasuki dunia itu." Suara seruputan orang yang sedang minum terdengar ditelinga lone.

"Aku tidak mengerti maksud ayah." Memutar balik kursinya untuk melihat lebih jelas mimik muka ayahnya.

"Ayah akan mejelaskannya. Tapi berjanjilah dulu kepada ayah, setelah ini kamu tidak boleh kesana lagi tanpa perizinan ayah." Myron-ayah lone- memandang putrinya dengan tatapan sendu.

"Tergantung."
Ayahnya menghela nafas panjang mendengar respon lone.

"Apa susahnya kamu meminta izin pada ayah terlebih dahulu? Kamu bahkan akan mendapat penjagaan yang aman lone." Tatapan myron kembali lebih tegas.

"Itu yang lone tidak suka ayah. Aku tidak suka dikawal seperti itu. Aku ingin pergi dengan bebas ayah, tidak dibatasi seperti ini." Lone berusaha nada bicaranya tidak merengek untuk saat ini.

"Lone juga dapat menjaga diri lone sendiri." Lirih lone dengan nada memohon. Pertahanan untuk tetap tegas seperti ayahnya runtuh. Lone mengalah saat ini. Tidak ada yang menyaingi ketegasan ayahnya bahkan putrinya sendiri.

"Disana bahaya lone. Tidak seperti apa yang kamu lihat." Pria yang berumur itu memejamkan matanya untuk memanimalisir rasa takut yang mulai merambatinya.

"Apa yang dimaksud dengan bahaya menurut ayah? Seberapa besar bahaya yang ayah maksudkan disini?" Gadis yang duduk dikursi putar terlihat frustasi memikirkan hal ini.

Mengambil nafas sebanyak banyak untuk bersiap menceritakan hal yang rahasia kepada putrinya. Myron menunduk, menopang dagunya dengan tangan mengepal gelisah untuk mulai awalan cerita. "Kamu tahu sekarang ini kaum penyihir tidak sebanyak dulu. Maksud ayah darah murni seorang penyihir itu hanya padamu. Termasuk Keluarga kerajaan ini."

Mengambil nafas sejenak myron menatap putrinya yang terlihat mencermati apa ia katakan. Mimik wajah putrinya kini berubah terkejut.

Ingin melajutkan tapi tidak tega dengan raut wajah putrinya.
"Diluar sana kebanyakan penyihir pencampuran manusia, kekuatan mereka tidak sesempurna kekuatan kita yang murni seorang penyihir. Maka tak heran kamu bisa membuat banyak ramuan unik."

"Mereka menetap disana kebanyakan memilih untuk tidak pernah menggunakan kekuatan mereka. Dan itu berakibat mereka mengubur kekuatan mereka sendiri. Dan semakin lama tidak digunakan, Itu akan memusnahkan kekuatan mereka selamnya."
Sekali lagi myron menoleh untuk melihat kondisi putrinya. Putrinya terlihat linglung saat mata mereka bertemu. Kosong.

"Maka dari itu ayah melarang mu untuk pergi kesana, takut kamu juga akan berada diantara salah satu dari mereka. Tidak memiliki kekuatan tandanya kamu melenyapkan eksistensi penyihir murni."
Myron mendekati putrinya yang sekarang terlihat kaku tidak bergerak. Saat ia berada didepan lone ia mengelus puncak kepala putrinya itu lalu turun kepipinya.

"Benarkah apa yang dikatakan ayah? Ayah todak berbohong kan?" Mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang diucapkan ayahnya memang benar, ia memikirkan pertannyaan yang sama berulang kali.

Ia tidak akan menerima apabila ayahnya ternyata berbohong hanya soal ia tidak boleh keluar dari sini.

"Ayah tidak mungkin berbohong soal ini lone." Myron menganggukkan kepala mencoba meyakinkan putrinya.

"Apa kamu tidak marah soal ini? Soal ayah baru memberitahu hal ini?" Ayahnya berjongkok dihadapannya. Tangannya menyampirkan rambut yang menutupi sebagian wajah putrinya.

"Tidak, ayah pasti mempunyai alasan lain." Ia tersenyum. Ia pikir ia akan menuruti perintah ayah kali ini.

"Tapi ayah, aku tidak mau dibuntuti terus oleh pengawal ayah, aku tidak mau." Wajah memohon kembali terlihat jelas diwajah putrinya. Ia kembali memikirkan apa yang akan menjadi keputusannya.

Sekali ia menghela nafas, ia kembali mengangguk menyetujui. "Ayah sekarang percaya padamu. jadi jangan sia-sia kan kepercaan ini hm?"

"Makasih ayah." Dia sangat bahagia sekarang. Itu adalah salah satu mimpinya untuk bebas dari mata-mata ayah. Sampai bahagianya ia memelum erat ayahnya dan tidak berhenti mengucapkan terimakasih. Ia lupa kapan terakhir kalinya momen seperti ini akan terjadi lagi saat ini.

Tags:
About the Author

Write admin description here..

0 coment�rios:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kata Bijak

Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan hanya dengan satu hobi. Setidaknya milikilah tiga macam hobi, satu yang bisa menghasilkan uang, satu lagi yang bisa menjaga kesehatan, dan satu lagi yang bisa membuat kita selalu kreatif #arulight

Cari Blog Ini

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Text Widget