Bagian terbaik dari perjalanan naik bus
adalah, bagiku, saat duduk di sebelah jendela dan mendengarkan lagu-lagu
kesukaan menggunakan headset. Bagaimana pun keadaan perjalanannya,
dengan setting seperti itu aku hanya merasakan syahdu. Menyaksikan
kendaraan berkejaran di luar sana, atau orang-orang dan pepohonan yang
tertinggal di belakang. Kilasan-kilasan wujud yang tak sampai satu detik
nampak, lalu hilang bersama derum mesin dan melodi. Itu seperti
menyaksikan film yang mana aku adalah bagian dari kisahnya. Maka itulah
yang langsung ingin kulakukan dalam perjalanan ke Jombang hari itu.
Hanya saja, nasib sedang belum memihak padaku.
Semua kursi penuh. Aku harus berdiri
bersama sebagian penumpang lainnya. Bis Puspa Indah yang mungil ini
hanya membutuhkan tiga puluhan orang saja agar penuh sesak. Mustahil
bagiku memasang headset ke hp dalam keadaan sesak seperti ini. Tapi ini
bukan hal yang begitu buruk, aku masih bisa menikmati suasana dan
‘tayangan’ orang-orang di dalam bis. Dua gadis SMA yang saling intip
androidnya. Ibu-ibu yang duduk diam sementara anaknya merengek minta
jajan. Seorang bapak di kursi paling depan yang susah payah berusaha
mengisap rokoknya—tanpa peduli bagaimana sejumlah penumpang susah payah
bernapas gara-gara asap rokoknya. Juga sopir dan kondektur yang asyik
ngobrol dengan volume yang lebih tepat disebut saling meneriaki.
Pak sopir bercerita tentang sulungnya
yang selalu kehabisan kuota data tak peduli berapa puluh ribu dia
membelikan. Belum satu minggu dibelikan, sudah minta beli lagi.
Kondekturnya menyarankan untuk membeli paket unlimited tapi sepertinya
pak sopir lebih suka mengeluhkan anaknya daripada menanggapi saran sang
kondektur. Setelah beberapa menit, ia berganti topik cerita. Kali ini
ganti membahas peristiwa kecelakaan yang kebetulan menimpa salah satu
kerabatnya. Aku tak yakin benar apakah pak sopir itu bersimpati pada si
kerabat atau dia malah menyumpahi. Sekali waktu kutangkap kata kasihan,
prihatin, gak punya uang, dan semacamnya. Tapi juga ada kata jengkel
cenderung mengumpat yang keluar dari mulutnya. Seakan kecelakaan itu
memang sudah sangat layak untuk dialami si kerabat. Ataukah dia sedang misuhi orang yang nabrak? Aku tak begitu yakin.
Percakapan mereka terhenti. Ada penumpang
naik, ada penumpang turun. Ada truk yang harus disalip. Kondektur
teriak-teriak. Bus berhenti. Penumpang turun lagi. Aku sudah mendapatkan
satu kursi di dekat jendela ketika sopir dan kondekturnya kembali
ngobrol. Tetap dengan saling meneriaki. Pak sopir sekarang bercerita
tentang salah satu rekan sopir yang harus berhenti mengendara karena
ketahuan selingkuh oleh isterinya. Dia tertawa-tawa menceritakan
bagaimana pasangan itu saling lempar perkakas pecah-belah di rumah.
Kuperhatikan sebagian penumpang juga diam-diam mengikuti ‘sandiwara
radio’ gratis itu. Dan kondektur, dia hanya ber-haha-hihi menanggapi
cerita sopirnya.
Ketika bis berhenti untuk menaikkan
penumpang, aku mulai mengeluarkan headset dan hp. Untuk perjalanan pagi
yang sudah mulai gerah seperti ini, mendengarkan lagu sambil
terkantuk-kantuk adalah kenikmatan yang hanya bisa dicecap para
pengembara. Lalu bus kembali melaju. Kencang. Mengejar beberapa mobil
pribadi, sepeda motor, membalap iring-iringan tiga truk pengangkut kayu,
dan terus menderum menanjak. Rumah, pertokoan, warung, dan masjid di
sepanjang jalan berkelebat seiring salah satu lagu lawas yang sedang
kunikmati, Everybody’s Changing by Keane. Lalu, tanpa ada penumpang yang
ingin turun, atau kondektur memberi aba-aba ada penumpang yang akan
naik, bus itu mengurangi kecepatannya.
Bus itu dengan cepat memelan dan akhirnya
berhenti di pinggir jalan yang memang tidak ada calon penumpang
menunggu di sana. Di situ berjejer rumah-rumah penduduk dan beberapa
toko kecil. Kupikir pak sopir ingin membeli minum atau semacamnya.
“Aku jalokno dunga,” teriak sopir pada kondekturnya yang melompat turun.
“Siap, Bos,” sahut kondektur sambil berteriak pula.
Dua penggal percakapan itu membuatku
penasaran. Kuperhatikan kondektur muda itu berlari bukannya menuju salah
satu toko di tepi jalan, melainkan menuju sebuah rumah sederhana tak
jauh dari tempat bus berhenti. Di depan rumah, berdiri seorang wanita
tua dan seorang wanita muda menggendong bayi.
Dengan sigap kondektur itu menyambut
tangan wanita tua yang terulur. Dia membungkukkan badan dan mencium
takdzim tangan sang wanita tua. Dengan penuh kasih sayang, ibu itu
mengusap kepala kondektur. Kemudian kondektur melepas jabat tangannya,
berdiri tegak di depan wanita muda dan bayinya. Dia rangkul wanita itu,
bicara sekejap, lalu menatap bayinya dalam gendongan, mencubit pipi si
bayi, menciumnya dengan penuh kasih sayang. Mereka bertiga tertawa
riang.
Kondektur itu merogoh saku celananya,
mengeluarkan dompet dan menyerahkan uang kepada ibunya. Kemudian
mengambil lagi uang untuk istrinya. Entah berapa jumlah uang yang dia
berikan, tapi kedua wanita itu menerimanya penuh dengan kegembiraan dan
syukur. Sang ibu tampaknya memanjatkan doa buat kondektur karena
kondektur dan wanita muda sama-sama mengangkat kedua tangan dan
mengusapkannya ke wajah. Aamiin.
Setelah itu, kondektur muda itu sekali
lagi mencium tangan ibunya, mencium bayinya, mencium kening istrinya,
lalu bergegas lari kembali menuju bisnya. Saat itulah aku baru menyadari
bahwa sebagian besar penumpang bis ini, termasuk sopirnya, sedang diam
khusyuk menyaksikan samudera cinta dan ketaatan yang membuncah dalam
kehidupan kondektur bis. Pak sopir dengan sabar menunggu sampai
kondekturnya naik bus sebelum menarik mesin dan kembali menjalankan
roda. Bis kembali bergerak, perlahan, lalu sopir membunyikan klakson dua
kali sambil mengintip ke luar jendela. Ibu tua itu melambai tangan
kepada pak sopir dan putranya (atau menantunya?). Lalu mesin kembali
menderum kencang.
“Surgo pok pek dewean,” teriak sopir. Kondekturnya hanya tertawa.
Aku terharu. Buru-buru aku mengintip ke
luar lagi, ingin melihat untuk terakhir kali keluarga cinta yang
menghuni rumah mungil itu. Kulihat ibu tua itu menyurukkan tangannya
pada putrinya (atau menantunya?) tapi sang putri berusaha menolak. Aku
menduga ia ingin menyerahkan uang pemberian sang kondektur pada
istrinya. Karena begitulah cinta seorang ibu, ketika ia mendapatkan
cinta, maka cinta itu akan ia bagikan kepada orang yang dicintai sang
pemberi cinta.
Aku tak tahu apakah wanita muda itu
mengambil uang yang diberikan oleh ibu mertuanya (atau ibu kandungnya?),
tapi aku akhirnya tahu bahwa selama perjalanan ini sang kondektur hanya
mendengarkan dan menanggapi cerita sopirnya. Ia tidak berbagi cerita
apa pun. Ia menyimpan semua kisah dirinya dan kisah orang lain untuk
dirinya sendiri. Mungkin karena itulah pak sopir merasa aman berbagi
cerita dengan kondekturnya.
Atau, mungkin karena cinta dan bakti sang
kondekturlah sehingga sopir itu, juga semua penumpang lainnya, merasa
aman menaiki bus kecil tua ini? []
0 coment�rios: