Rabu, 23 Oktober 2019

Kondektur Yang Menyiapkan Surga dari Bisnya

Rabu, 23 Oktober 2019 - by JURNALIS SMANPAC 0

Bagian terbaik dari perjalanan naik bus adalah, bagiku, saat duduk di sebelah jendela dan mendengarkan lagu-lagu kesukaan menggunakan headset. Bagaimana pun keadaan perjalanannya, dengan setting seperti itu aku hanya merasakan syahdu. Menyaksikan kendaraan berkejaran di luar sana, atau orang-orang dan pepohonan yang tertinggal di belakang. Kilasan-kilasan wujud yang tak sampai satu detik nampak, lalu hilang bersama derum mesin dan melodi. Itu seperti menyaksikan film yang mana aku adalah bagian dari kisahnya. Maka itulah yang langsung ingin kulakukan dalam perjalanan ke Jombang hari itu. Hanya saja, nasib sedang belum memihak padaku.

Semua kursi penuh. Aku harus berdiri bersama sebagian penumpang lainnya. Bis Puspa Indah yang mungil ini hanya membutuhkan tiga puluhan orang saja agar penuh sesak. Mustahil bagiku memasang headset ke hp dalam keadaan sesak seperti ini. Tapi ini bukan hal yang begitu buruk, aku masih bisa menikmati suasana dan ‘tayangan’ orang-orang di dalam bis. Dua gadis SMA yang saling intip androidnya. Ibu-ibu yang duduk diam sementara anaknya merengek minta jajan. Seorang bapak di kursi paling depan yang susah payah berusaha mengisap rokoknya—tanpa peduli bagaimana sejumlah penumpang susah payah bernapas gara-gara asap rokoknya. Juga sopir dan kondektur yang asyik ngobrol dengan volume yang lebih tepat disebut saling meneriaki.

Pak sopir bercerita tentang sulungnya yang selalu kehabisan kuota data tak peduli berapa puluh ribu dia membelikan. Belum satu minggu dibelikan, sudah minta beli lagi. Kondekturnya menyarankan untuk membeli paket unlimited tapi sepertinya pak sopir lebih suka mengeluhkan anaknya daripada menanggapi saran sang kondektur. Setelah beberapa menit, ia berganti topik cerita. Kali ini ganti membahas peristiwa kecelakaan yang kebetulan menimpa salah satu kerabatnya. Aku tak yakin benar apakah pak sopir itu bersimpati pada si kerabat atau dia malah menyumpahi. Sekali waktu kutangkap kata kasihan, prihatin, gak punya uang, dan semacamnya. Tapi juga ada kata jengkel cenderung mengumpat yang keluar dari mulutnya. Seakan kecelakaan itu memang sudah sangat layak untuk dialami si kerabat. Ataukah dia sedang misuhi orang yang nabrak? Aku tak begitu yakin.

Percakapan mereka terhenti. Ada penumpang naik, ada penumpang turun. Ada truk yang harus disalip. Kondektur teriak-teriak. Bus berhenti. Penumpang turun lagi. Aku sudah mendapatkan satu kursi di dekat jendela ketika sopir dan kondekturnya kembali ngobrol. Tetap dengan saling meneriaki. Pak sopir sekarang bercerita tentang salah satu rekan sopir yang harus berhenti mengendara karena ketahuan selingkuh oleh isterinya. Dia tertawa-tawa menceritakan bagaimana pasangan itu saling lempar perkakas pecah-belah di rumah. Kuperhatikan sebagian penumpang juga diam-diam mengikuti ‘sandiwara radio’ gratis itu. Dan kondektur, dia hanya ber-haha-hihi menanggapi cerita sopirnya.

Ketika bis berhenti untuk menaikkan penumpang, aku mulai mengeluarkan headset dan hp. Untuk perjalanan pagi yang sudah mulai gerah seperti ini, mendengarkan lagu sambil terkantuk-kantuk adalah kenikmatan yang hanya bisa dicecap para pengembara. Lalu bus kembali melaju. Kencang. Mengejar beberapa mobil pribadi, sepeda motor, membalap iring-iringan tiga truk pengangkut kayu, dan terus menderum menanjak. Rumah, pertokoan, warung, dan masjid di sepanjang jalan berkelebat seiring salah satu lagu lawas yang sedang kunikmati, Everybody’s Changing by Keane. Lalu, tanpa ada penumpang yang ingin turun, atau kondektur memberi aba-aba ada penumpang yang akan naik, bus itu mengurangi kecepatannya.

Bus itu dengan cepat memelan dan akhirnya berhenti di pinggir jalan yang memang tidak ada calon penumpang menunggu di sana. Di situ berjejer rumah-rumah penduduk dan beberapa toko kecil. Kupikir pak sopir ingin membeli minum atau semacamnya.

“Aku jalokno dunga,” teriak sopir pada kondekturnya yang melompat turun.
“Siap, Bos,” sahut kondektur sambil berteriak pula.

Dua penggal percakapan itu membuatku penasaran. Kuperhatikan kondektur muda itu berlari bukannya menuju salah satu toko di tepi jalan, melainkan menuju sebuah rumah sederhana tak jauh dari tempat bus berhenti. Di depan rumah, berdiri seorang wanita tua dan seorang wanita muda menggendong bayi.

Dengan sigap kondektur itu menyambut tangan wanita tua yang terulur. Dia membungkukkan badan dan mencium takdzim tangan sang wanita tua. Dengan penuh kasih sayang, ibu itu mengusap kepala kondektur. Kemudian kondektur melepas jabat tangannya, berdiri tegak di depan wanita muda dan bayinya. Dia rangkul wanita itu, bicara sekejap, lalu menatap bayinya dalam gendongan, mencubit pipi si bayi, menciumnya dengan penuh kasih sayang. Mereka bertiga tertawa riang.

Kondektur itu merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet dan menyerahkan uang kepada ibunya. Kemudian mengambil lagi uang untuk istrinya. Entah berapa jumlah uang yang dia berikan, tapi kedua wanita itu menerimanya penuh dengan kegembiraan dan syukur. Sang ibu tampaknya memanjatkan doa buat kondektur karena kondektur dan wanita muda sama-sama mengangkat kedua tangan dan mengusapkannya ke wajah. Aamiin.

Setelah itu, kondektur muda itu sekali lagi mencium tangan ibunya, mencium bayinya, mencium kening istrinya, lalu bergegas lari kembali menuju bisnya. Saat itulah aku baru menyadari bahwa sebagian besar penumpang bis ini, termasuk sopirnya, sedang diam khusyuk menyaksikan samudera cinta dan ketaatan yang membuncah dalam kehidupan kondektur bis. Pak sopir dengan sabar menunggu sampai kondekturnya naik bus sebelum menarik mesin dan kembali menjalankan roda. Bis kembali bergerak, perlahan, lalu sopir membunyikan klakson dua kali sambil mengintip ke luar jendela. Ibu tua itu melambai tangan kepada pak sopir dan putranya (atau menantunya?). Lalu mesin kembali menderum kencang.

“Surgo pok pek dewean,” teriak sopir. Kondekturnya hanya tertawa.
Aku terharu. Buru-buru aku mengintip ke luar lagi, ingin melihat untuk terakhir kali keluarga cinta yang menghuni rumah mungil itu. Kulihat ibu tua itu menyurukkan tangannya pada putrinya (atau menantunya?) tapi sang putri berusaha menolak. Aku menduga ia ingin menyerahkan uang pemberian sang kondektur pada istrinya. Karena begitulah cinta seorang ibu, ketika ia mendapatkan cinta, maka cinta itu akan ia bagikan kepada orang yang dicintai sang pemberi cinta.

Aku tak tahu apakah wanita muda itu mengambil uang yang diberikan oleh ibu mertuanya (atau ibu kandungnya?), tapi aku akhirnya tahu bahwa selama perjalanan ini sang kondektur hanya mendengarkan dan menanggapi cerita sopirnya. Ia tidak berbagi cerita apa pun. Ia menyimpan semua kisah dirinya dan kisah orang lain untuk dirinya sendiri. Mungkin karena itulah pak sopir merasa aman berbagi cerita dengan kondekturnya.

Atau, mungkin karena cinta dan bakti sang kondekturlah sehingga sopir itu, juga semua penumpang lainnya, merasa aman menaiki bus kecil tua ini? []

Tags:
About the Author

Write admin description here..

0 coment�rios:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kata Bijak

Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan hanya dengan satu hobi. Setidaknya milikilah tiga macam hobi, satu yang bisa menghasilkan uang, satu lagi yang bisa menjaga kesehatan, dan satu lagi yang bisa membuat kita selalu kreatif #arulight

Cari Blog Ini

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Text Widget